BERBAHAGIA ORANG YANG SUCI HATINYA
BERBAHAGIA ORANG YANG SUCI HATINYA
(Matius 5 : 8 & Maz 24 : 3-4)
Saya yakin semua orang ingin memiliki standar yang “suci hati”, namun kita tidak sanggup karena kehidupan manusia sejak dahulu telah dicemari oleh dosa sehingga sangat sulit mencapai stadar ini. Itu sebabnya satu-satunya cara yang ditempuh adalah meminta pertolongan Tuhan Yesus.
“Suci hati” terdiri dari dua kata, yakni kata “Suci” yang sering diterjemahkan dengan kata murni. Murni juga berarti dipisahkan dan ditempatkan ke tempat yang khusus., jadi lebih menuju kepada yang seteril. Seperti orang yang menambang emas, ada usaha keras untuk memisahkan emas dari lumpur dan pasir. Sedangkan kalau “Hati” itu urusan yang di dalam dan ini biasanya menyangkut tiga hal, yakni Pikiran, Kehendak dan Emosi. (coba bnd Maz 24 : 3-4)
“Manusia melihat apa yang di depan mata, namun Tuhan melihat hati” (1 Sam 16 :7). Kesucian dan kemurnian hati seseorang tidak dapat dipantau oleh mata manusia ataupun alat-alat kedokteran yang secanggih apapun, hanya Tuhan saja yang dapat memantau kita. Kepada manuisia kita dapat mengelabui, namun jangan sekali-kali kepada Tuhan.
1. Pikiran
Ketika pikiran kita jahat, otomatis mempengaruhi hati kita berbuat jahat pula. Itu sebabnya maka kita tidak dapat terlepas begitu saja antara pikiran dan hati. Pikiran kita sering kali dikotori dengan hal-hal yang negatif. Terlihatlah di sana motivasi yang tidak murni, sehingga menjadi tidak suci. Kalau pikiran kita baik, otomatis yang kita kerjakan juga baik. Yesus mengatakan justru hanya dengan pikiran kita saja kita telah berbuat dosa. Jadi apabila kita tetap hendak mempertahankan hidupa suci, maka kita harus membereskan pikiran kita terlebih dahulu.
Ketika Daud sudah menghampiri Batsyeba isteri Uria itu, maka ada ketakutan tersendiri dalam dirinya, karena ternyata Batsyeba itu hamil ( 2 Sam 11: 4 -5) Itu sebabnya ia memanggil Uria kembali dari medan perang, dengan maksud agar Uria itu boleh menginap satu dua malam di rumah (2 Sam 11 : 8). Dengan demikian maka kehamilan Batsyeba tidak menjadi masalah. Inilah pikiran yang tertanam di hati Daud. Kelihatannya apa yang dilakukan oleh Daud itu baik, namun motivasinya jahat.
Celakanya Uria itu sangat tulus dan setia pada Daud, sehingga walaupun ia pulang namun ia tidak menginap di rumahnya tetapi ia tetap siaga menjaga sang rajanya. Bahkan suatu malam diadakan pesta dengan maksud agar Uria mabuk , lalu secara tidak sadar ia pulang ke rumah, namun Uris tetap saja nginap di Istana. Dasar pemikiran Daud sudah jahat, maka akhirnya ia mengirim Uria ke medan perang dan dipasang pada barisan terdepan.
Singkat cerita gugurlah Uria. Dalam keadaan begini juga Daud masih mengatakan sudah biasa kalau orang mati dalam suatu peperangan. Pikiran yang jahat akan menghasilkan perbuatan-perbuatan yang jahat pula. Jadi bahaya sekali orang yang hatinya tidak suci.
Beberapa waktu yang lalu kita sempat kaget mendengar berita bahwa ada seorang aktifis yang menghabiskan nyawa pendetanya hanya karena ia dilarang memakai fasilitas gereja untuk berpacaran. Mestinya sebagai anak Tuhan ia akan menerima dengan rendah hati teguran ini dan tingkah lakunya diperbaharui. Namun yang terjadi justru terbalik, ia malah pergi membunuh pendetanya. Hati yang jahat menghasilkan pemikiran yang jahat pula. Dan melalui pemikiran yang jahat tercipta perbuatan yang jahat, sehingga banyak orang percaya jatuh dalam keadaan demikian.
Mungkin tendensi kita belum sampai bunuh membunuh, tetapi kalau sebagai anak Tuhan di dalam hatinya ada tersimpan rencana mencelakakan orang lain, maka kita perlu pertanyakan kekristenannya. Ketika ada ornag merugikan kita, ketika ada orang yang menyakiti hati kita, ketika ada orang yang mengkhianati kita bahkan ketika ada orang yang merebut kedudukan kita. Apa yang kita lakukan terhadapnya? Orang percaya semestinya memiliki pikiran yang jernih dan kokoh, ia tidak akan tergoyahkan hanya karena ada orang yang berbuat jahat kepadanya.
2. Kehendak
Allah memberikan kepada setiap ciptaan-Nya kehendak bebas, namun bukan berarti ia dapat sebebas-bebasnya melakukan segala sesuatu. Saya senang sekali dengan definisi kehendak bebas kita sebagai suatu kehendak yang mengakibatkan kita bebas untuk memilih yang baik dan menjauhkan yang jahat.
Orang yang “Suci Hati”nya tentu memiliki kehendak yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kitau sering mendengar orang-orang yang selalu ingin menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Tuhan, itu tidak salah. Namun yang terjadi adalah, kadang ada orang yang memaksa kehendak Tuhan itu agar sama dengan kehendaknya. Ini yang menjadi masalah.
Rasul Paulus secara manusia ia mengehendaki agar penyakit yang di deritanya segera sembuh, namun Tuhan tidak pernah menyembuhkan penyakitnya (2 Kor 12 : 7) . Tuhan Yesus secara manusia ingin agar cawan penderitaan itu berlalu dari kehidupan-Nya, karena Ia tahu itu sangat menyakitkan. Namun Tuhan Yesus ternyata harus menjalani penderitaan tersebut. Makanya di dalam doa Tuhan Yesus di taman Getsemani Ia berkata “ Biarlah Kehendak-MU yang jadi bukan kehendak-Ku”
Sebagai anak-anak Tuhan kita mesti demikain bukan? Doa yang diajarkan Tuhan Yesus juga menyebutkan bahwa “Jadilah Kehendak-Mu” , mengapa kita mesti memperjuangkan jadilah kehendakku? Orang yang suci hatinya selalu mengutamakan kehendak Tuhan, ketimbang kehendak diri sendiri. Jikalau semua orang percaya melakukan hal ini, tentu di gereja tidak pernah ada pertikaian lagi. Yang sering terjadi adalah kehendak pribadi yang ditonjolkan, sehingga tercipta pertikaian.
3. Emosi
Idealnya orang percaya itu harus memiliki emosi yang stabil, karena berasal dari hati yang suci. Namun karena pencemaran dosa yang begitu dahsyat sehingga di dunia ini juga terjadi orang-orang pecaya yang emosinya tidak stabil. Memang ada berbagai alasan yang dikemukakan untuk membenarkan dan untuk memaafkan diri sendiri apabila emosi seseorang itu tidak stabil. Mengkambing-hitamkan penyakit darah tinggi, stress, pekerjaan menumpuk, masalah keluarga dan sebagainya, dengan demikian kalau seseorang itu “emosisnya tidak stabil” boleh dimaklumi.
Firman Tuhan mengajarkan bahwa kita ini harus cepat mendengar dan lambat berkata-kata. Tuhan menciptakan telinga kita dua dengan mulut satu juga ada makna rohaninya. Ia ingin agar kita lebih banyak mendengar dan lambat bicara, dan juga tidak lekas marah. Seorang penulis mengatakan bahwa orang yang lekas marah maka hasilnya selalu malu. Kemudian hari ia akan menyesal dan minta maaf.
Salah satu kelemahan Dauda adalah ketika ia merasa terhina oleh Nabal, maka ia begitu cepat sekali naik darah, sehingga dengan emosi tinggi ia hendak mebunuhnya. Namun untunglah ada Abigail isteri Nabal yang datang dengan lembut dan meminta belas kasihan padanya ( 1 Sam 25 : 9 – 30). Orang yang sedang emosi tinggi, tidak boleh mengambil keputusan penting, hasilnya kebanyakan merugikan orang lain dan mencelakakan. Semestinya ia harus menungggu hingga emosinya stabil, baru boleh memutuskan sesuatu. Orang Kristen tidak seharusnya memiliki model yang begini. Terutama Anda yang sebagai pengurus atau majelis di gereja, sering kali emosi yang tidak stabil menghasilkan keputusan-keputusan pelayanan yang tidak rohani.
Kalau kita hendak menjadi orang percaya yang berbahagia, maka hati kita perlu suci, karena dengan hati yang sucikita tidak menyimpan sesuatu yang hendak merugikan dan mencelakakan orang lain. Istilah nya “tidak ada udang di balik batu” Namun hati yang suci senantiasa hendak membuat orang lain bersuka-cita dan menikmati hidup yang lebih baik. Kalau hati kita tidak suci, maka pikiran kita, kehendak kita, dan emosi kita selalu diwarnai dengan kejahatan dan ketakutan, maka jelas sekali hidup kita tidak akan tenteram. Bila hidup seseorang tidak tenteram, bagaimana mungkin ia berbahagia. Sangat masuk akal bukan?
(Matius 5 : 8 & Maz 24 : 3-4)
Saya yakin semua orang ingin memiliki standar yang “suci hati”, namun kita tidak sanggup karena kehidupan manusia sejak dahulu telah dicemari oleh dosa sehingga sangat sulit mencapai stadar ini. Itu sebabnya satu-satunya cara yang ditempuh adalah meminta pertolongan Tuhan Yesus.
“Suci hati” terdiri dari dua kata, yakni kata “Suci” yang sering diterjemahkan dengan kata murni. Murni juga berarti dipisahkan dan ditempatkan ke tempat yang khusus., jadi lebih menuju kepada yang seteril. Seperti orang yang menambang emas, ada usaha keras untuk memisahkan emas dari lumpur dan pasir. Sedangkan kalau “Hati” itu urusan yang di dalam dan ini biasanya menyangkut tiga hal, yakni Pikiran, Kehendak dan Emosi. (coba bnd Maz 24 : 3-4)
“Manusia melihat apa yang di depan mata, namun Tuhan melihat hati” (1 Sam 16 :7). Kesucian dan kemurnian hati seseorang tidak dapat dipantau oleh mata manusia ataupun alat-alat kedokteran yang secanggih apapun, hanya Tuhan saja yang dapat memantau kita. Kepada manuisia kita dapat mengelabui, namun jangan sekali-kali kepada Tuhan.
1. Pikiran
Ketika pikiran kita jahat, otomatis mempengaruhi hati kita berbuat jahat pula. Itu sebabnya maka kita tidak dapat terlepas begitu saja antara pikiran dan hati. Pikiran kita sering kali dikotori dengan hal-hal yang negatif. Terlihatlah di sana motivasi yang tidak murni, sehingga menjadi tidak suci. Kalau pikiran kita baik, otomatis yang kita kerjakan juga baik. Yesus mengatakan justru hanya dengan pikiran kita saja kita telah berbuat dosa. Jadi apabila kita tetap hendak mempertahankan hidupa suci, maka kita harus membereskan pikiran kita terlebih dahulu.
Ketika Daud sudah menghampiri Batsyeba isteri Uria itu, maka ada ketakutan tersendiri dalam dirinya, karena ternyata Batsyeba itu hamil ( 2 Sam 11: 4 -5) Itu sebabnya ia memanggil Uria kembali dari medan perang, dengan maksud agar Uria itu boleh menginap satu dua malam di rumah (2 Sam 11 : 8). Dengan demikian maka kehamilan Batsyeba tidak menjadi masalah. Inilah pikiran yang tertanam di hati Daud. Kelihatannya apa yang dilakukan oleh Daud itu baik, namun motivasinya jahat.
Celakanya Uria itu sangat tulus dan setia pada Daud, sehingga walaupun ia pulang namun ia tidak menginap di rumahnya tetapi ia tetap siaga menjaga sang rajanya. Bahkan suatu malam diadakan pesta dengan maksud agar Uria mabuk , lalu secara tidak sadar ia pulang ke rumah, namun Uris tetap saja nginap di Istana. Dasar pemikiran Daud sudah jahat, maka akhirnya ia mengirim Uria ke medan perang dan dipasang pada barisan terdepan.
Singkat cerita gugurlah Uria. Dalam keadaan begini juga Daud masih mengatakan sudah biasa kalau orang mati dalam suatu peperangan. Pikiran yang jahat akan menghasilkan perbuatan-perbuatan yang jahat pula. Jadi bahaya sekali orang yang hatinya tidak suci.
Beberapa waktu yang lalu kita sempat kaget mendengar berita bahwa ada seorang aktifis yang menghabiskan nyawa pendetanya hanya karena ia dilarang memakai fasilitas gereja untuk berpacaran. Mestinya sebagai anak Tuhan ia akan menerima dengan rendah hati teguran ini dan tingkah lakunya diperbaharui. Namun yang terjadi justru terbalik, ia malah pergi membunuh pendetanya. Hati yang jahat menghasilkan pemikiran yang jahat pula. Dan melalui pemikiran yang jahat tercipta perbuatan yang jahat, sehingga banyak orang percaya jatuh dalam keadaan demikian.
Mungkin tendensi kita belum sampai bunuh membunuh, tetapi kalau sebagai anak Tuhan di dalam hatinya ada tersimpan rencana mencelakakan orang lain, maka kita perlu pertanyakan kekristenannya. Ketika ada ornag merugikan kita, ketika ada orang yang menyakiti hati kita, ketika ada orang yang mengkhianati kita bahkan ketika ada orang yang merebut kedudukan kita. Apa yang kita lakukan terhadapnya? Orang percaya semestinya memiliki pikiran yang jernih dan kokoh, ia tidak akan tergoyahkan hanya karena ada orang yang berbuat jahat kepadanya.
2. Kehendak
Allah memberikan kepada setiap ciptaan-Nya kehendak bebas, namun bukan berarti ia dapat sebebas-bebasnya melakukan segala sesuatu. Saya senang sekali dengan definisi kehendak bebas kita sebagai suatu kehendak yang mengakibatkan kita bebas untuk memilih yang baik dan menjauhkan yang jahat.
Orang yang “Suci Hati”nya tentu memiliki kehendak yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kitau sering mendengar orang-orang yang selalu ingin menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Tuhan, itu tidak salah. Namun yang terjadi adalah, kadang ada orang yang memaksa kehendak Tuhan itu agar sama dengan kehendaknya. Ini yang menjadi masalah.
Rasul Paulus secara manusia ia mengehendaki agar penyakit yang di deritanya segera sembuh, namun Tuhan tidak pernah menyembuhkan penyakitnya (2 Kor 12 : 7) . Tuhan Yesus secara manusia ingin agar cawan penderitaan itu berlalu dari kehidupan-Nya, karena Ia tahu itu sangat menyakitkan. Namun Tuhan Yesus ternyata harus menjalani penderitaan tersebut. Makanya di dalam doa Tuhan Yesus di taman Getsemani Ia berkata “ Biarlah Kehendak-MU yang jadi bukan kehendak-Ku”
Sebagai anak-anak Tuhan kita mesti demikain bukan? Doa yang diajarkan Tuhan Yesus juga menyebutkan bahwa “Jadilah Kehendak-Mu” , mengapa kita mesti memperjuangkan jadilah kehendakku? Orang yang suci hatinya selalu mengutamakan kehendak Tuhan, ketimbang kehendak diri sendiri. Jikalau semua orang percaya melakukan hal ini, tentu di gereja tidak pernah ada pertikaian lagi. Yang sering terjadi adalah kehendak pribadi yang ditonjolkan, sehingga tercipta pertikaian.
3. Emosi
Idealnya orang percaya itu harus memiliki emosi yang stabil, karena berasal dari hati yang suci. Namun karena pencemaran dosa yang begitu dahsyat sehingga di dunia ini juga terjadi orang-orang pecaya yang emosinya tidak stabil. Memang ada berbagai alasan yang dikemukakan untuk membenarkan dan untuk memaafkan diri sendiri apabila emosi seseorang itu tidak stabil. Mengkambing-hitamkan penyakit darah tinggi, stress, pekerjaan menumpuk, masalah keluarga dan sebagainya, dengan demikian kalau seseorang itu “emosisnya tidak stabil” boleh dimaklumi.
Firman Tuhan mengajarkan bahwa kita ini harus cepat mendengar dan lambat berkata-kata. Tuhan menciptakan telinga kita dua dengan mulut satu juga ada makna rohaninya. Ia ingin agar kita lebih banyak mendengar dan lambat bicara, dan juga tidak lekas marah. Seorang penulis mengatakan bahwa orang yang lekas marah maka hasilnya selalu malu. Kemudian hari ia akan menyesal dan minta maaf.
Salah satu kelemahan Dauda adalah ketika ia merasa terhina oleh Nabal, maka ia begitu cepat sekali naik darah, sehingga dengan emosi tinggi ia hendak mebunuhnya. Namun untunglah ada Abigail isteri Nabal yang datang dengan lembut dan meminta belas kasihan padanya ( 1 Sam 25 : 9 – 30). Orang yang sedang emosi tinggi, tidak boleh mengambil keputusan penting, hasilnya kebanyakan merugikan orang lain dan mencelakakan. Semestinya ia harus menungggu hingga emosinya stabil, baru boleh memutuskan sesuatu. Orang Kristen tidak seharusnya memiliki model yang begini. Terutama Anda yang sebagai pengurus atau majelis di gereja, sering kali emosi yang tidak stabil menghasilkan keputusan-keputusan pelayanan yang tidak rohani.
Kalau kita hendak menjadi orang percaya yang berbahagia, maka hati kita perlu suci, karena dengan hati yang sucikita tidak menyimpan sesuatu yang hendak merugikan dan mencelakakan orang lain. Istilah nya “tidak ada udang di balik batu” Namun hati yang suci senantiasa hendak membuat orang lain bersuka-cita dan menikmati hidup yang lebih baik. Kalau hati kita tidak suci, maka pikiran kita, kehendak kita, dan emosi kita selalu diwarnai dengan kejahatan dan ketakutan, maka jelas sekali hidup kita tidak akan tenteram. Bila hidup seseorang tidak tenteram, bagaimana mungkin ia berbahagia. Sangat masuk akal bukan?