JANJI ORANG PERCAYA
Kehidupan manusia sungguh terbatas, kita sering gagal memenuhi standard kita sebagai manusia yang normal. Dikatakan standard manusia yang normal adalah tatakala manusia itu telah sanggup hidup sehari-harinya mengikuti jalan yang benar. Ternyata untuk standard normal ini saja cukup sulit mencapainya. Sebenarnya standard tuntutan Tuhan Yesus terhadap orang –orang percaya adalah di atas normal, artinya ia mesti berada di atas rata-rata manusia yang yang disebut sebagai orang baik. Diantara sekian banyak hal kegagalan , salah satu hal yang membuat manusia tidak mencapai di atas normal adalah masalah janji; sering kita mengecewakan orang lain karena tidak menepati janji. Kita menjadi tidak dipercaya orang lain karena sering kali menmgingkari janji.
Tidak jarang kita mendengar kalimat “Janji gombal” , “Janji palsu” , lalu ada istilah “Janji tinggal janji” dan dulu ada lagu lama yang berjudul “Lidah tak bertulang” kata-katanya seperti demikian, 'Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata. Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati...''. Semua itu berhubungan dengan kegagalan manusia memenuhi janji itu. Konon hanya ada pribahasa di Indonesia yang bunyinya “Merpati yang Tak pernah ingkar janji”, saya juga tidak tahu kenapa bisa demikian? Hari ini kita akan coba belajar tiga hal yang sangat penting tentang janji, secara khusus janji kita pada Tuhan:
Kita harus Mengingat Janji
Mengucapkan janji gampang sekali, itu yang biasa kita sebut dengan kata janji yang muluk-muluk. Janji itu akan muncul dimana-mana , di Televisi hamper setiap hari kita melihat tebaran janji itu, para pemasang iklan, pemilik produk, selalu mengucapkan janji-janji yang indah atas barang produksinya. Lalu pada saat mulai mau kampanye Pemilihan Umum juga demikian. Di Indonesia ada ada 24 Partai politik yang berhasil masuk untuk bersaing di dalam Pemilu. Saya yakin seperti biasanya setiap partai akan mengumbar janji kepada masyarakat, untuk menarik publik agar memilih mereka. Namun, seperti biasanya juga , janji tinggallah janji, setelah itu janjinya diingat atau tidak kita tidak tahu lagi. Pada saat itu para pemilih itu berkata dibelakang, kalau saya tahu saya tidak akan memilih partai itu. Pdt Eka Darmaputra mengistilahkan ini dalkam sebuah renungannya di harian Sinar Harapan dengat kalimat singkat “Ketika Sumpah menjadi Sampah”, yang artinya sumpah itu telah tidak bermakna lagi. Sangat tragis sekali bahwa jaman sekarang orang-orang tidak menganggap serius sebuah janji, ketika janji tidak bisa ditepati masih dianggap lumrah atau sudah biasa. Bagi Allah, janji itu suatu yang serius, di dalam 2 Petrus 3:9 “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat. “ Mengapa Allah begitu serius dengan janji-Nya? Karena firman Allah itu memang suatu hal yang serius? Petrus ingin menjelaskan kepada kita bahwa Tuhan itu tidak pernah main-main dengan janji, Tuhan itu juga tidak pernah mengingkari janji, justru manusialah yang selalu mengingkari janji.
Ingatlah , bahwa janji yang Tuhan berikan kepada manusia itu sifatnya kontrak, artinya ada dua pihak, dan di situ juga mencakup masalah hak dan kewajiban. Manusia cenderung mengingat haknya saja, dan lupa pada kewajibannya. Tuhan berjanji akan memberkati kita, akan memelihara kita, dan kewajibannya kita harus setia dan taat pada-firman-Nya; namun yang manusia lakukan adalah mengklaim janji Tuhan dan ingat selalu akan janji Tuhan tanpa mengevaluasi hidupnya sendiri. Tuhan mengatakan , ketika perjanjian itu berlangsung maka kekonsistenan seorang pembuat janji sangat diperlukan. Ketika kita tidak konsisten pada janji, dan mencoba untuk melanggarnya; maka manfaat janji itu menjadi lemah bahkan tidak ada. Janji itu dibuat justru membuat kita terikat, yang diputuskan secara bersama dan diambil keputusannya secara suka-rela. Dan Salomo, ketika melantunkan puji-pujiannya pun berkata, ”Terpujilah Tuhan yang memberikan tepat seperti yang difirmankan-Nya … tidak ada satu pun yang tidak dipenuhi” (1 Raja-Raja 8:56).
Allah tidak pernah memaksakan kehendak-Nya pada kita, sebaliknya kita juga tidak boleh memaksakan kehendak kita kepada Allah. Ketika kita memaksakan apa yang kita inginkan dihapan Allah, kita telah merusak rencana Allah yang Agung itu. Artinya, kita yakin janji Allah dalam hidup kita adalah rencana yang Agung dan mulia, namun kita juga mempunyai rencana yang menurut “kita” itu baik, satu pihak kita yakin Allah kita adalah Allah yang maha tahu, maha Pencipta, dan maha Kuasa; nah ketika kita memaksakan apa yang kita kehendaki terjadi; kita telah merusak rencana-Nya yang Agung itu. Sekarang permisi tanya , pernahkah kita membuat janji kita pada Tuhan? Masih ingatkah kita akan janji itu? Atau kita hanya mengingat janji Tuhan saja?
Dalam pidatonya presiden Bush beberapa bulan sebelum terpilih kembali, beliau mengatakan bahwa akan ada kelonggaran bagi imigran yang illegal di Amerika, lalu mungkin ada embel-embel lain lagi sebagai tambahan beliau untuk para imigran. Ini janji seorang presiden, mudah-mudahan kalau beliau masih tetap memgingat janji itu.. Namun karena ada terbongkarnya kasus pemalsuan surat-surat yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab di Virginia beberapa waktu yangn lalu, telah hampitr membuat presiden Bush menunda bahkan membatalakan janjinya. Ini janji seorang presiden, yang juga seorang manusia.
Sekali lagi, ingatkah janji kita kepada Tuhan? Mungkin yang paling gampang diingat adalah janji kita mau hidup baik dihadapan Tuhan? Atau sewaktu pulang dari suatu Retreat, kita mungkin pernah berjanji pada Tuhan akan melayani Dia dengan sungguh-sungguh? Kita bertekad untuk setia pada Dia? Kita berjanji mau melibatkan diri dalam tugas pelayanan? Kita berjanji mau terlibat dalam misi? Atau kita berjanji pada Tuhan untuk berdamai dengan musuh kita? Kita berjanji tidak mau melakukan ini dan itu lagi? Kita berjanji akan mendukung pekerjaan Tuhan, baik dengan tenaga maupun dana? Banyak janji pemisi tanya, apakah kita masih ingat akan janji itu? Hanya ingat saja, tidak lebih dari itu? Masih ingatkah? Atau sudah dilupakan? Kalau sudah dilupakan, maka kita perlu ambil catatan, untuk mencatat kembali janji-janji yang pernah kita ucapkan kepada Tuhan baik melalui orang lain; artinya melalui pengurus, atau majelis serta hamba Tuhan maupun secara pribadi kita dengan Tuhan, yang tanpa diketahui oleh orang lain.
2. Kita harus Memelihara Janji
Memang, mengingat janji itu sangat penting, namun tidak cukup; kita harus tetap memelihara janji tersebut. Beda antara janji manusia dengan manusia dan janji manusia dengan Tuhan adalah, kepada manusia kita bisa dengan “topeng”, kita membohonginya, namun kepada Tuhan kita tidak bisa membohong-Nya. Kalau kita lihat di Alkitab, Tuhan begitu setia memelihara janji-Nya, mulai dari Abraham, Yakub lalu Yusuf sampai pada Daud dan kepada Tuhan Yesus, kita melihat ada suatu rangkaian khusus yang sambung menyambung. Di dalam perjalanan yang panjang ini ternyata tidak berlangsung dengan mulus, tetapi ada liku-liku yang sampai pada penggenapan Janji Tuhan yakni Yesus disalibkan, mati dan bangkit dari kubur. Tuhan memelihara Janji-Nya begitu rupa hingga Ia menggenapi Janji-Nya itu.
Saya yakin kita semua mempunya janji dan kita akan dinilai baik oleh orang kalau kita bisa memelihara janji itu dengan baik, artinya kalau janji itu berupa rahasia, maka kita akan pelihara secara rahasia pula. Sering kali timbul keributan antara teman-teman dekat kita disebabkan karena kita tidak konsekwen dengan janji kita. “ Tolong ya, yang saya ngomong ini rahasia loh ya ; jangan diceritaiin ke orang lain”. Namun sebentar saja rahasianya itu tersebar dan kalimat yang diucapkan juga sama “ tolong ya, jangan ceritaan ke orang lain ini merupakan rahasia”
Di Alkitab ada dua tokoh yang sangat terkenal, yakni Daud dan Yonatan. Kedua orang ini pernah membuat janji. Perhatikanlah I Samuel 20 secara keseluruhan, Daud dan Yonatan kedua orang yang bersahabat akrab, namun pada saat-saat terakhir jabatan Saul ia menjauhkan diri dari Tuhan. Oleh sebab itu maka melalui Samuel, Tuhan memilih Daud untuk menggantikan kedudukannya. Oleh karena itu raja Saul sangat geram dan ia berkali-kali hendak membunuh Daud. Bagian ini menceritakan bagaimana perjanjian persahabatan Daud dan Yonatan benar-benar terpelihara dengan baik, walaupun musuh berbuyutan Daud itu adalah ayah Yonatan sendiri. Perjanjian mereka begitu terpelihara bahakan sampai pada keturunan mereka, yang mana Daud tyetap memperlakukan anak Yonatan yang cacat kaki bernama Mefiboset itu sebagai orang yang terhormat di kerajannya. (Lihat 1 Samuael 20 : 42 “Kemudian berkatalah Yonatan kepada Daud “Pergilah dengan selamat; bukankah kita telah bersumpah demi nama TUHAN, demikian : TUHAN akan ada diantara aku dan engakau serta diantara keturunanmu samapi selam-lamanya” perhatiakn juga II Samuel 21 :7 “”Tetapi raja merasa sayang kepada Mefiboset bin Yonatan bin Saul, karena sumpah demi TUHAN ada diantara mereka, di antara Daud dan Yonatan bin Saul”)
Kalau kepada sesama manusia saja Daud dan Yonatan memelihara janji mereka samapi mati, bagaimana dengan kita? Lalu lebih focus lagi bagi kita memelihara janji kita kepada Tuhan.
3 Kita harus Menepati Janji
MENEPATI janji adalah sesuatu yang sangat sentral dalam iman Israel, dan seharusnya begitu juga dalam iman kita. Mengapa? Karena bentuk atau ”format” hubungan antara Allah dan umat-Nya, adalah ”hubungan perjanjian”; ”hubungan kontrak”.
MENEPATI janji adalah sesuatu yang sangat sentral dalam iman Israel, dan seharusnya begitu juga dalam iman kita. Mengapa? Karena bentuk atau ”format” hubungan antara Allah dan umat-Nya, adalah ”hubungan perjanjian”; ”hubungan kontrak”. DI SEPANJANG perjalanan hidup setiap orang, pasti 1001 macam janji telah dibuat. Dari yang besar, sampai yang kecil. Dari yang resmi pakai akte notaris, sampai yang tidak tertulis. Dari janji kepada orang lain, sampai janji terhadap diri sendiri. Dan di sepanjang jalan itu pula, bila orang menengok ke belakang, akan jelas sekali kelihatan betapa kotornya jalan-jalan itu. Kotor oleh ”sampah” dan ”limbah”, yang bernama ”Janji-janji Yang Tak Tertepati”. Broken promises
Kita berjanji untuk melakukan ini, untuk melihat itu, untuk berada di sini, untuk pergi ke situ. Tapi berkali-kali, bahkan setiap kali, janji-janji itu tidak pernah terpenuhi. Lebih celaka, memikirkannya atau mengingat-ingatnya pun kita tidak. Hidup berjalan seperti ”biasa”, seolah-olah tak pernah ada janji apa pun kita ucapkan. Apa lagi, orang pun merasa tidak perlu lagi menagihnya. Sebab, bukankah janji dibuat untuk dilanggar? ADA janji yang terselip di setiap kontrak kerja yang dibuat. Si pemberi kerja berjanji memberi gaji dan fasilitas—ini, ini, ini. Di pihak yang lain, si penerima kerja berjanji untuk melakukan bagi perusahaan—ini, ini, ini. Semuanya fair dan transparan. Jelas dan terbuka. Tak ada unsur paksa memaksa. Begitulah kelihatannya. Tapi benarkah begitu? Bila benar begitu, mengapa ada begitu banyak kecurangan? Di mana pengusaha mengeksploitasi buruh-buruhnya. Dan buruh merongrong perusahaannya. Jawabnya: karena janji yang tidak ditepati! Sejak awal, perjanjian memang dibuat dengan niat tidak bersih. Maksud saya, tidak dengan niat merealisasikannya, tetapi sebaliknya bagaimana mengingkarinya, dengan memanfaatkan kesempatan dan kelemahan yang ada. P engusaha berusaha membayar serendah-rendahnya (”Bila Anda tidak bersedia, silakan cari perusahaan yang lain saja!”). Sementara para pekerja bermalas-malasan, mencuri apa saja begitu ada kesempatan (”Di sini gaji kecil, tapi ‘sabetan’nya bung!”).
SECARA teknis, tidak ada tempat lain di mana janji berhamburan, kecuali di ruang pengadilan. Di tempat di mana kebenaran dicari, dan keadilan ditegakkan. Di situ ada pembela yang menjamin agar hak-hak terdakwa diindahkan. Ada jaksa yang menuntut agar kebenaran ditegakkan, kejahatan dihukum setimpal, dan hak-hak korban dibela. Dan kemudian ada hakim, yang—atas nama Tuhan—menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dan yang sebenar-benarnya. Semuanya—termasuk para saksi—menjalankan peran yang berbeda-beda, tapi tujuannya sama: mengungkap kebenaran, seluruh kebenaran, dan tiada yang lain kecuali kebenaran. Telling the truth, the whole truth, and nothing but the truth. Tapi mengapa—seperti terjadi dalam praktik sehari-hari—ruang pengadilan justru menjadi tempat di mana ketidak-adilan dipamerkan, di mana kebenaran dipalsukan, dan keadilan diperjual-belikan—dengan malu-malu maupun terang-terangan? Jawabnya: karena janji dan sumpah telah menjadi sekadar proforma! Siapa berani mengatakan tidak ada sumpah yang dilanggar, ketika bagi orang-orang besar dan orang-orang kaya berlaku prinsip ”asumsi tidak bersalah”, sementara para penjahat ”kelas teri” sudah dijatuhi mati, bahkan sebelum sempat dibawa ke kantor polisi?
Kehidupan manusia sungguh terbatas, kita sering gagal memenuhi standard kita sebagai manusia yang normal. Dikatakan standard manusia yang normal adalah tatakala manusia itu telah sanggup hidup sehari-harinya mengikuti jalan yang benar. Ternyata untuk standard normal ini saja cukup sulit mencapainya. Sebenarnya standard tuntutan Tuhan Yesus terhadap orang –orang percaya adalah di atas normal, artinya ia mesti berada di atas rata-rata manusia yang yang disebut sebagai orang baik. Diantara sekian banyak hal kegagalan , salah satu hal yang membuat manusia tidak mencapai di atas normal adalah masalah janji; sering kita mengecewakan orang lain karena tidak menepati janji. Kita menjadi tidak dipercaya orang lain karena sering kali menmgingkari janji.
Tidak jarang kita mendengar kalimat “Janji gombal” , “Janji palsu” , lalu ada istilah “Janji tinggal janji” dan dulu ada lagu lama yang berjudul “Lidah tak bertulang” kata-katanya seperti demikian, 'Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata. Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati...''. Semua itu berhubungan dengan kegagalan manusia memenuhi janji itu. Konon hanya ada pribahasa di Indonesia yang bunyinya “Merpati yang Tak pernah ingkar janji”, saya juga tidak tahu kenapa bisa demikian? Hari ini kita akan coba belajar tiga hal yang sangat penting tentang janji, secara khusus janji kita pada Tuhan:
Kita harus Mengingat Janji
Mengucapkan janji gampang sekali, itu yang biasa kita sebut dengan kata janji yang muluk-muluk. Janji itu akan muncul dimana-mana , di Televisi hamper setiap hari kita melihat tebaran janji itu, para pemasang iklan, pemilik produk, selalu mengucapkan janji-janji yang indah atas barang produksinya. Lalu pada saat mulai mau kampanye Pemilihan Umum juga demikian. Di Indonesia ada ada 24 Partai politik yang berhasil masuk untuk bersaing di dalam Pemilu. Saya yakin seperti biasanya setiap partai akan mengumbar janji kepada masyarakat, untuk menarik publik agar memilih mereka. Namun, seperti biasanya juga , janji tinggallah janji, setelah itu janjinya diingat atau tidak kita tidak tahu lagi. Pada saat itu para pemilih itu berkata dibelakang, kalau saya tahu saya tidak akan memilih partai itu. Pdt Eka Darmaputra mengistilahkan ini dalkam sebuah renungannya di harian Sinar Harapan dengat kalimat singkat “Ketika Sumpah menjadi Sampah”, yang artinya sumpah itu telah tidak bermakna lagi. Sangat tragis sekali bahwa jaman sekarang orang-orang tidak menganggap serius sebuah janji, ketika janji tidak bisa ditepati masih dianggap lumrah atau sudah biasa. Bagi Allah, janji itu suatu yang serius, di dalam 2 Petrus 3:9 “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat. “ Mengapa Allah begitu serius dengan janji-Nya? Karena firman Allah itu memang suatu hal yang serius? Petrus ingin menjelaskan kepada kita bahwa Tuhan itu tidak pernah main-main dengan janji, Tuhan itu juga tidak pernah mengingkari janji, justru manusialah yang selalu mengingkari janji.
Ingatlah , bahwa janji yang Tuhan berikan kepada manusia itu sifatnya kontrak, artinya ada dua pihak, dan di situ juga mencakup masalah hak dan kewajiban. Manusia cenderung mengingat haknya saja, dan lupa pada kewajibannya. Tuhan berjanji akan memberkati kita, akan memelihara kita, dan kewajibannya kita harus setia dan taat pada-firman-Nya; namun yang manusia lakukan adalah mengklaim janji Tuhan dan ingat selalu akan janji Tuhan tanpa mengevaluasi hidupnya sendiri. Tuhan mengatakan , ketika perjanjian itu berlangsung maka kekonsistenan seorang pembuat janji sangat diperlukan. Ketika kita tidak konsisten pada janji, dan mencoba untuk melanggarnya; maka manfaat janji itu menjadi lemah bahkan tidak ada. Janji itu dibuat justru membuat kita terikat, yang diputuskan secara bersama dan diambil keputusannya secara suka-rela. Dan Salomo, ketika melantunkan puji-pujiannya pun berkata, ”Terpujilah Tuhan yang memberikan tepat seperti yang difirmankan-Nya … tidak ada satu pun yang tidak dipenuhi” (1 Raja-Raja 8:56).
Allah tidak pernah memaksakan kehendak-Nya pada kita, sebaliknya kita juga tidak boleh memaksakan kehendak kita kepada Allah. Ketika kita memaksakan apa yang kita inginkan dihapan Allah, kita telah merusak rencana Allah yang Agung itu. Artinya, kita yakin janji Allah dalam hidup kita adalah rencana yang Agung dan mulia, namun kita juga mempunyai rencana yang menurut “kita” itu baik, satu pihak kita yakin Allah kita adalah Allah yang maha tahu, maha Pencipta, dan maha Kuasa; nah ketika kita memaksakan apa yang kita kehendaki terjadi; kita telah merusak rencana-Nya yang Agung itu. Sekarang permisi tanya , pernahkah kita membuat janji kita pada Tuhan? Masih ingatkah kita akan janji itu? Atau kita hanya mengingat janji Tuhan saja?
Dalam pidatonya presiden Bush beberapa bulan sebelum terpilih kembali, beliau mengatakan bahwa akan ada kelonggaran bagi imigran yang illegal di Amerika, lalu mungkin ada embel-embel lain lagi sebagai tambahan beliau untuk para imigran. Ini janji seorang presiden, mudah-mudahan kalau beliau masih tetap memgingat janji itu.. Namun karena ada terbongkarnya kasus pemalsuan surat-surat yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab di Virginia beberapa waktu yangn lalu, telah hampitr membuat presiden Bush menunda bahkan membatalakan janjinya. Ini janji seorang presiden, yang juga seorang manusia.
Sekali lagi, ingatkah janji kita kepada Tuhan? Mungkin yang paling gampang diingat adalah janji kita mau hidup baik dihadapan Tuhan? Atau sewaktu pulang dari suatu Retreat, kita mungkin pernah berjanji pada Tuhan akan melayani Dia dengan sungguh-sungguh? Kita bertekad untuk setia pada Dia? Kita berjanji mau melibatkan diri dalam tugas pelayanan? Kita berjanji mau terlibat dalam misi? Atau kita berjanji pada Tuhan untuk berdamai dengan musuh kita? Kita berjanji tidak mau melakukan ini dan itu lagi? Kita berjanji akan mendukung pekerjaan Tuhan, baik dengan tenaga maupun dana? Banyak janji pemisi tanya, apakah kita masih ingat akan janji itu? Hanya ingat saja, tidak lebih dari itu? Masih ingatkah? Atau sudah dilupakan? Kalau sudah dilupakan, maka kita perlu ambil catatan, untuk mencatat kembali janji-janji yang pernah kita ucapkan kepada Tuhan baik melalui orang lain; artinya melalui pengurus, atau majelis serta hamba Tuhan maupun secara pribadi kita dengan Tuhan, yang tanpa diketahui oleh orang lain.
2. Kita harus Memelihara Janji
Memang, mengingat janji itu sangat penting, namun tidak cukup; kita harus tetap memelihara janji tersebut. Beda antara janji manusia dengan manusia dan janji manusia dengan Tuhan adalah, kepada manusia kita bisa dengan “topeng”, kita membohonginya, namun kepada Tuhan kita tidak bisa membohong-Nya. Kalau kita lihat di Alkitab, Tuhan begitu setia memelihara janji-Nya, mulai dari Abraham, Yakub lalu Yusuf sampai pada Daud dan kepada Tuhan Yesus, kita melihat ada suatu rangkaian khusus yang sambung menyambung. Di dalam perjalanan yang panjang ini ternyata tidak berlangsung dengan mulus, tetapi ada liku-liku yang sampai pada penggenapan Janji Tuhan yakni Yesus disalibkan, mati dan bangkit dari kubur. Tuhan memelihara Janji-Nya begitu rupa hingga Ia menggenapi Janji-Nya itu.
Saya yakin kita semua mempunya janji dan kita akan dinilai baik oleh orang kalau kita bisa memelihara janji itu dengan baik, artinya kalau janji itu berupa rahasia, maka kita akan pelihara secara rahasia pula. Sering kali timbul keributan antara teman-teman dekat kita disebabkan karena kita tidak konsekwen dengan janji kita. “ Tolong ya, yang saya ngomong ini rahasia loh ya ; jangan diceritaiin ke orang lain”. Namun sebentar saja rahasianya itu tersebar dan kalimat yang diucapkan juga sama “ tolong ya, jangan ceritaan ke orang lain ini merupakan rahasia”
Di Alkitab ada dua tokoh yang sangat terkenal, yakni Daud dan Yonatan. Kedua orang ini pernah membuat janji. Perhatikanlah I Samuel 20 secara keseluruhan, Daud dan Yonatan kedua orang yang bersahabat akrab, namun pada saat-saat terakhir jabatan Saul ia menjauhkan diri dari Tuhan. Oleh sebab itu maka melalui Samuel, Tuhan memilih Daud untuk menggantikan kedudukannya. Oleh karena itu raja Saul sangat geram dan ia berkali-kali hendak membunuh Daud. Bagian ini menceritakan bagaimana perjanjian persahabatan Daud dan Yonatan benar-benar terpelihara dengan baik, walaupun musuh berbuyutan Daud itu adalah ayah Yonatan sendiri. Perjanjian mereka begitu terpelihara bahakan sampai pada keturunan mereka, yang mana Daud tyetap memperlakukan anak Yonatan yang cacat kaki bernama Mefiboset itu sebagai orang yang terhormat di kerajannya. (Lihat 1 Samuael 20 : 42 “Kemudian berkatalah Yonatan kepada Daud “Pergilah dengan selamat; bukankah kita telah bersumpah demi nama TUHAN, demikian : TUHAN akan ada diantara aku dan engakau serta diantara keturunanmu samapi selam-lamanya” perhatiakn juga II Samuel 21 :7 “”Tetapi raja merasa sayang kepada Mefiboset bin Yonatan bin Saul, karena sumpah demi TUHAN ada diantara mereka, di antara Daud dan Yonatan bin Saul”)
Kalau kepada sesama manusia saja Daud dan Yonatan memelihara janji mereka samapi mati, bagaimana dengan kita? Lalu lebih focus lagi bagi kita memelihara janji kita kepada Tuhan.
3 Kita harus Menepati Janji
MENEPATI janji adalah sesuatu yang sangat sentral dalam iman Israel, dan seharusnya begitu juga dalam iman kita. Mengapa? Karena bentuk atau ”format” hubungan antara Allah dan umat-Nya, adalah ”hubungan perjanjian”; ”hubungan kontrak”.
MENEPATI janji adalah sesuatu yang sangat sentral dalam iman Israel, dan seharusnya begitu juga dalam iman kita. Mengapa? Karena bentuk atau ”format” hubungan antara Allah dan umat-Nya, adalah ”hubungan perjanjian”; ”hubungan kontrak”. DI SEPANJANG perjalanan hidup setiap orang, pasti 1001 macam janji telah dibuat. Dari yang besar, sampai yang kecil. Dari yang resmi pakai akte notaris, sampai yang tidak tertulis. Dari janji kepada orang lain, sampai janji terhadap diri sendiri. Dan di sepanjang jalan itu pula, bila orang menengok ke belakang, akan jelas sekali kelihatan betapa kotornya jalan-jalan itu. Kotor oleh ”sampah” dan ”limbah”, yang bernama ”Janji-janji Yang Tak Tertepati”. Broken promises
Kita berjanji untuk melakukan ini, untuk melihat itu, untuk berada di sini, untuk pergi ke situ. Tapi berkali-kali, bahkan setiap kali, janji-janji itu tidak pernah terpenuhi. Lebih celaka, memikirkannya atau mengingat-ingatnya pun kita tidak. Hidup berjalan seperti ”biasa”, seolah-olah tak pernah ada janji apa pun kita ucapkan. Apa lagi, orang pun merasa tidak perlu lagi menagihnya. Sebab, bukankah janji dibuat untuk dilanggar? ADA janji yang terselip di setiap kontrak kerja yang dibuat. Si pemberi kerja berjanji memberi gaji dan fasilitas—ini, ini, ini. Di pihak yang lain, si penerima kerja berjanji untuk melakukan bagi perusahaan—ini, ini, ini. Semuanya fair dan transparan. Jelas dan terbuka. Tak ada unsur paksa memaksa. Begitulah kelihatannya. Tapi benarkah begitu? Bila benar begitu, mengapa ada begitu banyak kecurangan? Di mana pengusaha mengeksploitasi buruh-buruhnya. Dan buruh merongrong perusahaannya. Jawabnya: karena janji yang tidak ditepati! Sejak awal, perjanjian memang dibuat dengan niat tidak bersih. Maksud saya, tidak dengan niat merealisasikannya, tetapi sebaliknya bagaimana mengingkarinya, dengan memanfaatkan kesempatan dan kelemahan yang ada. P engusaha berusaha membayar serendah-rendahnya (”Bila Anda tidak bersedia, silakan cari perusahaan yang lain saja!”). Sementara para pekerja bermalas-malasan, mencuri apa saja begitu ada kesempatan (”Di sini gaji kecil, tapi ‘sabetan’nya bung!”).
SECARA teknis, tidak ada tempat lain di mana janji berhamburan, kecuali di ruang pengadilan. Di tempat di mana kebenaran dicari, dan keadilan ditegakkan. Di situ ada pembela yang menjamin agar hak-hak terdakwa diindahkan. Ada jaksa yang menuntut agar kebenaran ditegakkan, kejahatan dihukum setimpal, dan hak-hak korban dibela. Dan kemudian ada hakim, yang—atas nama Tuhan—menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dan yang sebenar-benarnya. Semuanya—termasuk para saksi—menjalankan peran yang berbeda-beda, tapi tujuannya sama: mengungkap kebenaran, seluruh kebenaran, dan tiada yang lain kecuali kebenaran. Telling the truth, the whole truth, and nothing but the truth. Tapi mengapa—seperti terjadi dalam praktik sehari-hari—ruang pengadilan justru menjadi tempat di mana ketidak-adilan dipamerkan, di mana kebenaran dipalsukan, dan keadilan diperjual-belikan—dengan malu-malu maupun terang-terangan? Jawabnya: karena janji dan sumpah telah menjadi sekadar proforma! Siapa berani mengatakan tidak ada sumpah yang dilanggar, ketika bagi orang-orang besar dan orang-orang kaya berlaku prinsip ”asumsi tidak bersalah”, sementara para penjahat ”kelas teri” sudah dijatuhi mati, bahkan sebelum sempat dibawa ke kantor polisi?
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home